Capung, Bioindicator yang Terancam Punah

Pada suatu siang yang selo, dengan cuacanya yang panas menyengat, tanpa sengaja saya melihat seekor capung yang sedang berburu santapan, untuk makan siang. Kebetulan waktu itu, saya juga sedang menunggu waktu menuju jam makan siang. Baiklah capung, saya sempatkan diri untuk menemanimu, sejenak melupakan rasa lapar.

Saat itu si capung, Army Dragonfly, dengan gesit mencoba menangkap seekor lalat, yang juga sigap terbang mecoba menyelamatkan diri. Karena kelihaian gerakan mereka, mata saya cukup kesulitan untuk mengikuti gerakan kedua serangga tersebut. Mirip seperti melihat Cell (dalam wujud sempurna) yang sedang bertarung di udara melawan Songohan (eh?). Bola mata saya dibuat berputar-putar, berliuk-liuk mengikuti kecepatan gerakan mereka. Saya menatap serius sampai bengong, dengan mulut yang masih tertutup rapat tentunya (siapa tahu ada  yang nyasar masuk, siapa tahu?).

Akhirnya setelah beberapa detik, tepat sebelum mata saya hampir menjadi juling, si capung berhasil menangkap si lalat. Makan siang pun sudah siap bagi si capung. Saya? Saya hanya bengong melihat si capung makan. Sambil menahan rasa lapar, saya menyempatkan untuk mengambil gambar foto si capung, yang sedang bangga menyantap hasil buruannya.

imageMau mas ? Eh, nyari sendiri sana

(Army Dragonfly, Libellulidae: Orthetrum sabina)

Si capung, yang hampir saja membuat mata saya juling, mempunyai nama umum: Slender Skimmer, Green Skimmer, Green Marsh Hawk, Oasis skimmer , Variegated Green Skimmer (Inggris). Di Indonesia biasa disebut capung hijau, atau ada juga yang menyebutnya capung badak. Capung merupakan serangga bersayap (pterygota), dimana sayapnya tidak dapat dilipat (palaeoptera) . Dibandingkan jenis capung lain, capung hijau ini termasuk jenis capung yang paling mudah beradaptasi dengan lingkungan, paling agresif dan biasa memangsa jenis capung yang lain.

Kenapa saya tertarik untuk membahas serangga ini ? Karena dia hampir saja membuat mata saya juling. Bukan, bukan itu. Saya tertarik karena Dragonfly, Naga Terbang, yang masuk Ordo odonata ini ternyata adalah salah satu bioindikator, penanda air kehidupan. Capung menjadi indikator air bersih dan lingkungan sehat karena kehidupan capung tidak dapat dipisahkan dengan air. Begitulah kira-kira yang saya pahami dari tulisan di rubrik Iptek Kompas, 3 Januari 2014 lalu. Jadi Capung dengan ratusan jenis spesiesnya merupakan penanda adanya sumber air bagi kehidupan di suatu tempat. Langkanya atau sulit ditemukannya capung-capung di suatu tempat yang semula menjadi habitat binatang ini menjadi salah satu penanda bahwa tempat tersebut telah mengalami perubahan lingkungan di mana kondisi air sudah tercemar dan menyebabkan terganggunya ekosistem Capung.

Sekarang capung sudah mulai sulit ditemukan, kalau pun ada biasanya adalah jenis capung hijau seperti pada gambar di atas (yang hampir membuat mata saya juling). Capung hijau memang lebih mudah beradaptasi pada lingkungan dimana capung-capung lain tidak mampu beradaptasi. Jenis capung lain seperti capung kuning/merah (Neurothemis terminata ), capung jarum, capung ekor kuning ( Potamarcha congener) lebih susah ditemui, karena mereka rentan terhadap perubahan lingkungan, habitat mereka berada di tempat berair dengan kualitas air yang masih baik dan bersih.

Semakin kita jarang menemukan capung, maka sebenarnya kita bisa menyimpulkan bahwa di tempat itu sudah dan sedang terjadi kerusakan lingkungan.

image Capung merah

Menurut penelitian Worldwild Dragonfly Assosiation, komunitas pencinta capung tingkat dunia, memasukkan capung yang ada di Indonesia ke dalam daftar merah atau terancam punah. Jumlah capung yang merupakan serangga kelompok keluarga Odonata itu terus berkurang akibat hilangnya sumber air yang menjadi habitatnya. (Tempo,2012)

Keberadaan capung menjadi nilai ukur atau indikator kondisi sumber air. Bahkan capung juga memiliki peranan penting untuk menjaga kelestarian lingkungan. Saat berbentuk nimfa atau larva, capung merupakan predator jentik nyamuk. Sedangkan saat dewasa, capung menjadi predator hama tanaman, seperti kutu daun, belalang, lalat, dan nyamuk. Saat capung berbentuk nimfa atau larva bisa hidup di air selama empat tahun. Sedangkan saat bermetamorfosis menjadi capung dewasa hanya bertahan empat bulan. Jadi, dengan siklus hidup yang cukup panjang, terutama di fase larvanya, maka keberadaan capung ini bisa cepat berkurang atau bahkan hilang karena pencemaran air, kerusakan lingkungan.

Dulu, saat saya masih kecil, saya tinggal di perumahan yang berdekatan lokasinya dengan lingkungan persawahan. Cukup mudah waktu itu menjumpai berbagai jenis capung, dari capung ukuran besar maupun ukuran kecil, capung hijau, kuning, biru, ataupun merah, termasuk jenis capung jarum yang beraneka macam warna dan jenisnya. Itu sekitar 15 tahun yang lalu, sekarang sudah sangat jarang ditemukan, kecuali si capung hijau (yang hampir membuat mata saya juling) masih bisa ditemui. Keberadaan capung yang semakin berkurang, kemungkinan disebabkan karena beberapa perubahan. Perubahan kondisi habitat, habitat mereka telah berkurang karena perluasan bangunan perumahan. Sawah, tempat mereka hidup di fase larva, air di persawahan banyak yang sudah tercemar obat racun serangga. Juga air sungai, sebagai tempat mereka bertelur dan berkembang sudah mulai tercemar limbah industri dan limbah rumah tangga. Jika masih seperti ini, bisa jadi beberapa tahun ke depan, bahkan si capung hijaupun akan sulit ditemui.

Capung merupakan salah satu penyejuk mata di siang hari yang panas. Sangat disayangkan jika capung yang juga sebagai penyeimbang ekosistem semakin berkurang keberadaannya. Memang, dibutuhkan kesadaran diri untuk menjaga lingkungan sekitar kita, dimulai dari diri sendiri saat ini juga, minimal ada usaha untuk tidak semakin memperparah dan menambah kerusakan lingkungan yang sudah terlanjur terjadi. Karena usaha terkecil dari diri sendiri, mulai dari sekarang, akan berpengaruh untuk masa mendatang. Kita hidup tidak sendirian. Think globally, act locally.

Jangan sampai anak cucu kita nantinya hanya bisa melihat gambar dan mendengar namanya saja. Atau hanya bisa melihat capung besi dengan baling-balingnya. Salam Lestari…

Sumber : http://m.tempo.co/read/news/2012/08/15/206423773/Indonesia-Ikut-Kongres-Capung-Dunia

Catatan, Gambar foto di atas diambil dengan kamera handphone, Sony Xperia Go. Karena mereka sangat sensitif dan pemalu, jadi gambar tersebut harus diambil secara diam-diam, mengendap-endap pelan, bahkan menahan nafas dan mematung selama beberapa detik. Gerakan tiba-tiba harus dihindari. Kesabaran sangat diperlukan saat itu, apalagi dengan perut yang masih kosong. Sekian.

Posted from WordPress for Android

~ by S T E on April 17, 2014.

One Response to “Capung, Bioindicator yang Terancam Punah”

  1. nicee

Leave a comment