Conversation of Two Apes

Pada suatu ketika ada seekor ras kera berjalan tegak, yang berkirim surat kepada temannya, sesamanya, Homo sapiens.  Demikian bunyinya:

Saudara Homo sapiens sapiens yang saya hormati, apa yang harus dilakukan seekor monyet yang telah berevolusi menjadi cerdas dan berjalan dengan kedua kaki, memiliki keterampilan, budaya, mitos dan hasil cipta, karya, karsa golongannya sendiri. apakah monyet itu harus merasa lain dari makhluk lain, mengakui paling mulia dan paling sempurna, ataukah ada PR yang lebih besar dari itu semua? mohon penjelasannya. Terima kasih

Jawab temannya:
Sdr. Homo sapiens sapiens spiritus yang saya hormati juga, Kera yang telah berevolusi itu, justru harus sadar bahwa berkah evolusi itu sendiri mempersyaratkan tanggung jawab yang lebih luas di bumi ini.

Dengan ditemukannya teknologi, sains, etika dan spiritualitas yang terkandung secara inheren dalam perjalanan evolusinya yang panjang dan melelahkan ini,  justru seharusnya ras kera besar ini diharapkan lebih bertanggung jawab untuk memelihara keberlangsungan kehidupan di dunia ini.

Pada jaman-jaman mitologis dulu, kerinduan dan rasa tanggung jawab ini terkandung dalam budaya dan dibakukan oleh agama-agama. Contohnya :

– Suku kubu dan Suku Anak Dalam hanya menebang pohon yang sudah masak umurnya.
– Masyarakat di mana Hindu dan Buddhisme jadi mayoritas, sering melepaskan burung dan ikan serta mahluk lain ke habitatnya. Sekalipun tujuan mereka bersifat rohaniah yaitu mengikis karma, namun tujuan ekologisnya jelas, yaitu mengembalikan pada alam ini mahluk-mahluk hidup agar tercipta keseimbangan ekologi kembali.
– Pula dalam budaya agraris Timur tengah, setelah 6 tahun musim tanam, tahun ketujuh tanah dibiarkan tidak ditanami. Bagi mereka itu hukum tuhan, namun bagi kita yang kenal sains, itu berarti memberi waktu bagi tanah untuk meregenerasi proses penyuburan tanah itu sendiri.

Dan ada banyak kearifan-kearifan lokal pada masyarakat kita, yang kalau sisi mitologisnya disingkapkan nampaklah sisi sisi komunalnya yang baik, misalnya tradisi tumpengan, larungan, dsb.

Jadi buat koloni ras kera besar yang sudah melek sains ini, hemat saya tidak perlu merasa sombong, besar kepala, adigung -adiguna terhadap saudara-saudara mereka yang belum begitu beruntung dalam evolusi ini. Justru ras kera besar hasil evolusi ini harusnya disadarkan akan betapa berat tanggung jawab mereka dalam dunia ini.

Sejak 10 ribu tahun terakhir, ketika ras kera besar mulai mengenal kampak dan berhenti dari nomaden, wajah bumi menjadi sama sekali berbeda. Terlebih setelah kera-kera besar cerdas ini menemukan cara untuk meningkatkan hasil produksi lewat industri.

Dulu kera besar ini adalah mahluk tak berdaya di ancam oleh singa, anjing liar, dan dicekam takut oleh dinginnya malam dan gemuruh halilintar ketika langit memuntahkan hujannya. Sekarang justru kera besar ini mengotori atmosfir dengan karbon, sisa pembakaran batu bara dan emisi gas berbahaya, menyampahi daratan dan lautan dengan limbah industri dan nuklir.

Kendala terbesar kera-kera besar saat ini juga adalah populasi yang tak terkendali. Dahulu nenek moyang kita hanya berkelamin pada waktu musim kelamin saja. Namun berkat evolusi, siklus bereproduksi itu bisa dipercepat dan menjadi kegiatan rutin yang menguras tenaga dan berpotensi menumpulkan daya kerja otak kalau tidak dimanage dengan baik.

Karena populasi yang sedemikian pesat ini maka kompleksitas hidup yang padat, tuntutan kemapanan hidup dan persaingan semakin tidak terkendali. Sehingga perhatian kera-kera besar ini melulu hanya ditujukan untuk kegiatan-kegiatan pemenuhan ekonomi, pada masalah perut dan di bawah perut.

Begitu pula dengan managerial pemerintahan dan ekonomi yang tidak efektif dan korup yang menciptakan segelintir kaum yang kayanya tidak ketulungan sedangkan sebagian besar orang hidup dalam kemiskinan yang begitu telanjang.

Dan, sayangnya sebagaian besar kera besar berjalan tegak di dunia ini masih senang membenamkan dirinya dalam mitos-mitos tentang asal muasal keberadaan mereka di surga sana, karena begitu malunya mereka jika mengaku bahwa mereka sebenarnya masih berkerabat dekat dengan simpanse dan bonobo.

Kera-kera besar berjalan tegak ini lebih senang menggadaikan harta kekayaan yang didapat dari perjalanan evolusi mereka yang mencengangkan ini, yaitu otak yang cerdas demi sejumput kepastian dan ketenangan hidup di alam baka.

Maka dari itu tidak aneh apabila mereka berlomba-lomba menginvestasikan harta mereka ke tabungan-tabungan surgawi semacam sumbangan ibadah, atau persepuluhan ke gereja yang kebanyakan dipakai untuk membuncitkan perut pendetanya, ketimbang memberikannya pada mereka yang sungguh-sungguh membutuhkannya, demi pengentasan kemiskinan dan peningkatan mutu pendidikan.

Mungkin itu yang bisa saya sampaikan buat anda, maaf jika tidak memuaskan anda.

Tapi bro, kenapa ya kebanyakan manusia membutuhkan simbol-simbol yang terkesan irasional untuk mencapai hal ini dan itu. Dan saya rasa setiap manusia memiliki sifat dasar berupa kebutuhan untuk itu (simbol), seperti mitos, mantra, dsb ?

Memang begitulah realitasnya sdr. homo sapiens sapiens spiritus. Bukan hanya spiritualitas, bahkan sains pun membutuhkan simbol-simbol, konsensus dan paradigma dalam mengkomunikasikan ide-idenya.

Bedanya, sains didasari atas metodologi empiris-rasionalis, sehingga dari awal para saintis harus sadar bahwa ketika suatu saat ada pendekatan yang lebih ajek dalam memberikan suatu hal, maka pendekatan lama bisa ditinggalkan, jika ternyata keliru, atau diintegrasi ke dalam metodologi yang baru.

Kita bisa ambil contoh tentang geocentris yang terbukti salah dan digantikan dengan heliocentris yang benar.

Begitu pula gravitasi newtonian yang ternyata kurang sempurna kemudian diintegrasikan ke dalam relativitas Einstein.

Saat ini kita sedang menanti apakah hukum Relativitas Einstein dengan Mekanika Quantum bisa dipadukan dalam M theory, yang baru bisa dipahami secara matematis namun belum bisa dibuktikan secara empiris.

Bedanya dengan sains, agama dan spiritualitas menyandarkan dirinya melulu pada mitos, iman, dan pengalaman subyektif intuitif, yang ketika diverifikasi dan terbukti keliru, kebanyakan bisanya mencak-mencak dan mencap si lawan bicara sebagai monyet (eh, memang mirip sih), kafir, atheis, zionis, dsb.

Untuk itu harus diciptakan kesadaran yang besar pada jaman ini bahwa spiritualitas bukan untuk membawa si penekunnya pada pengalaman-pengalaman extra ordinary dan extra terrestrial, namun pada semangat untuk menyadari tanggung jawab kita di bumi ini, kini dan di sini bersama dengan orang-orang yang kita sapa sehari-hari. Buat apa kita memuja guru-guru masa lalu yang kita tidak tahu kebenaran historitasnya? Mereka benar-benar ada ataupun tidak ada kita juga tidak begitu yakin.

Untuk itulah perlu ada dorongan supaya setiap kera berdiri tegak ini berani dalam eretas jalan spiritualitasnya masing-masing.

Kita ini adalah guru sekaligus murid dari sekolah spiritualitas di Taman Bermain Bumi.

Kalau memang kita merasa bahwa simbol-simbol ketuhanan tertentu masih diperlukan, tidak jadi masalah. Namun sadari saja bahwa itu semua adalah alat psikologis yang terbatas. Kita memerlukannya sampai suatu saat kita sadar bahwa semua itu hanyalah kesadaran dalam diri kita sendiri. Seperti yang pernah saya tulis dalam postingan saya sebelumya;

Hidup adalah Sebuah Perayaan, bahwa Brahman, Tao, Substantia, Alam Semesta atau Tuhan tidaklah berpribadi atau Niguna Brahman. Karena tidak berpribadi maka tidak akan pernah ada komunikasi “aku dan kau” antara Tuhan dan manusia.

Dalam upaya Untuk mempermudah komunikasi dan mengejawantahkan kerinduan-kerinduan psikologis suci ini, maka manusia mengalegorikan dan mengantromorphiskan Totalitas kemisterian Alam Semesta ini dalam idea-idea sederhana yang manusia eh kera besar itu kenal pada jamannya, misalnya kepala suku, raja dan kerajaannya, dsb. Kemudian terbentuklah figur-figur tuhan yang insani, berpribadi dalam bias-bias budaya, bahasa, zeitgeist dan worldview koloni-koloni kera besar ini.

Tujuan dari semua itu apaan sih? Tidak kurang dan tidak lebih agar manusia dapat mencari makna terdalam dari arti kehadirannya ini di bumi, dalam untaian evolusi peradaban, dalam semburat sejarah, agar mereka menyadari bahwa kehidupan mereka itu begitu ringkih, hanya bertumpu pada helaan nafas masuk dan keluar.

Wah Apresiasi saya sangat besar atas tulisan anda, terima kasih.

Sama, apresiasi saya juga sangat besar pada teman-teman yang bersama-sama saya saling mencerahkan, termasuk anda.

image

Tulisan ini hanyalah perspektif dari sudut pandang yang berbeda, melihat tentang apa sebenarnya yang menjadi tanggung jawab manusia (yang mirip kera) dalam hal keduniawian. Bukan bermaksud anti Tuhan, atau pro Atheis. Tapi jika anda Atheis, bersyukurlah kawan, tanggung jawab kita tetap sama, tapi beban yang anda pikul lebih ringan, karena anda tidak mengenal tuhan. Oh, atau mungkin anda monyet yang bisa membaca? Oh, hebat, kenalan yuk.

Sumber gambar : www.earthintransition.org/category/chimps-plus/

Posted from WordPress for Android

~ by S T E on January 25, 2014.

Leave a comment