Tuhan Hadir untuk Siapapun, Kapanpun, Dimanapun, dan dengan Cara Apapun

Desember 2013, banyak hal baru dan kejutan baru yang datang menghampiri saya. Lingkungan baru, rekan kerja baru, teman baru, bahkan musuh baru. Banyak hal-hal yang datang di luar kendali dan dugaan, dan mau tidak mau saya harus menghadapi dan menerimanya, meski itu di atas rasa keragu-raguan yang selalu datang berbisik atau hanya sekedar lewat seperti angin lalu. Tapi, terlepas dari itu semua saya yakin, atau lebih tepatnya saya mencoba menghibur diri saya sendiri, bahwa semua itu di bawah kendali dari “Sing Ngecat Lombok”. Itu semua adalah proses pembelajaran hidup, Sang Guru yang mempunyai rencana untuk menempa hidup saya. Dan pasti itu yang terbaik (masih menghibur diri). Teringat juga oleh kata-kata eyang Soe Hok Gie :

Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa bisa kita mengerti, tanpa bisa kita menawar…
Terimalah, dan hadapilah…

Ya, paling tidak, kata-kata tersebut selalu saya ingat dan saya pegang, ketika saya merasa (selalu) ragu-ragu. Selalu ragu-ragu, itulah saya, si plegmatis yang memang hobi ragu-ragu, datar, dan suka tidak mau repot. Cukup! terlalu panjang lebar saya berbasa-basi. Oke, prolognya cukup sekian, mari kembali sesuai judul yang dimaksud. Sebenarnya, kali ini saya mau membahas soal keyakinan dan Tuhan, entah kenapa akhir-akhir ini saya sering ragu tentang hal itu. Saya ragu-ragu bukan tentang soal konsep ketuhanan dan keyakinannya. Saya hanya ragu tentang cara saya meyakini Tuhan, dan cara saya berkomunikasi denganNya, ini lebih ke soal hubungan pribadi denganNya, bukan soal agama yang saya anut. Memang, kebetulan saya beragama juga, ya kebetulan, karena konsep itulah yang dikenalkan pada saya, sejak saya lahir. Dan saya tidak mempermasalahkannya. Keluarga saya adalah keluarga yang sederhana, selalu mengajarkan tentang konsep ketuhanan melalui perilaku, kejujuran, dan hubungan baik dengan sesama, soal ritual dan cara saya berkomunikasi itu hanyalah cara untuk memperkuat diri dan batin ketika kita bertindak dalam melayani sesama. Jujur, hanya itu saja yang saya tahu soal agama saya, dan bagi saya itu cukup, karena yang penting adalah melayani sesama.  Cinta kasih.

Saya bukan ahli dalam hal agama, namun saya yakin bahwa Tuhan hadir tidak hanya melalui tempat ibadah dan agama. Saya banyak belajar dari hal-hal sekitar yang ada di kehidupan, bahwa Tuhan selalu hadir melalui hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Heran, banyak orang mempermasahkan soal perbedaan agama, soal perbedaan cara, seolah Tuhan hanya hadir melalui satu cara saja. Saya mencoba mengutip kata-kata seorang cendikiawan muslim, salah satu idola saya, Emha Ainun Najib, beliau berkata bahwa; “Agama itu cuma baju, yang penting adalah Tuhan.” Menurut saya itu tepat sekali, memang ada yang berpendapat bahwa; Agamamu agamamu, agamaku agamaku. Saya tambahkan juga, bahwa Tuhanku ya Tuhanmu. Meski berbeda cara dalam berkomunikasi, Tuhan kita tetap sama kawan, Tuhan adalah Sang Pencipta. Monyet juga tahu akan hal itu (kalau dia bisa ngomong, eh bisa ngga ya? Semoga bisa suatu saat).

Sebenarnya, saya paling malas berbicara soal agama, karena bagi saya hubungan manusia dan Tuhan adalah soal hubungan pribadi, tak perlu dikoar-koarkan, apalagi diperdebatkan. Saya akhirnya membahas juga tentang agama, karena saya sudah mulai risih akhir-akhir ini, banyak orang berdebat isu soal agama di media sosial, dan itu terlalu sering. Kenapa mesti seperti itu? Bingung saya. Bagi saya, orang yang berdebat soal perbedaan agama itu lebih buruk daripada orang yang berkelahi karena berebut makanan. Kenapa demikian? Ya, karena orang berebut makanan itu tujuannya jelas, mereka ingin bertahan hidup. Sedangkan, orang yang berdebat soal agama, itu buat apa, sudah pasti mereka adalah orang-orang pintar, namun seolah mereka hanya berpikir soal Tuhannya masing-masing, masing-masing yang mana? Tuhan mereka sama kok. Tuhan saya, kamu , mereka, kami, kita, dan juga tuhan si monyet juga sama kok. Kita, manusia, terlalu keblinger tentang istilah kebenaran. Konsep dosa, surga, dan neraka mestinya membuat kita belajar untuk menghargai hidup. Bukan malah belajar berlomba-lomba untuk menghindari dosa, merangkul surga, dan menendang neraka, tapi akhirnya lupa tentang untuk apa kita hidup. Sekali lagi, saya bukan termasuk penganut agama yang ahli, taat pun sepertinya juga kurang, tapi yang saya tahu bahwa berdebat soal keyakinan (pada Tuhan) itu adalah hal yang sia-sia. Pada akhirnya hanya akan mengkotak-kotak perbedaan. Primitif.

Tuhan tidak kampungan atau norak, Dia lebih pengertian dari yang kita kira.

Seorang Atheis, yang cara hidupnya menganut nilai-nilai kehidupan akan lebih dirangkul oleh Tuhan, daripada seorang (mono)Theis  yang ahli ilmu agamanya, tapi lupa tentang untuk apa dia hidup.

Saya bukan orang yang pintar dalam hal agama, saya kebetulan juga beragama dan sering malu karena telah beragama, malu dengan Tuhan. Untuk apa beragama? Jika kita mempermalukan Tuhan, mengaku telah mengenal Tuhan, tapi malah justru terlalu memuja agama. Agamakanlah Tuhan, bukan malah justru mentuhankan agama. Lalu Tuhan… apa agama-Mu ?

“Bila engkau berbuat baik, tak ada seorangpun yang akan menanyakan apa agamamu.” (Gus Dur)

Ya, Tuhan hadir untuk Siapapun, Kapanpun, Dimanapun, dan dengan Cara Apapun.

Jadi begitulah, kita terlalu memuja soal konsep kebenaran yang kita anut. Tapi kita lupa bahwa Kebenaran hanya ada satu, meskipun dilihat dengan cara yang berbeda-beda.

Maaf, jika pikiran saya dangkal. Saya menulis ini bukan untuk menghakimi, menggurui, ataupun mengecam. Saya hanya menyampaikan unek-unek saya, sedikit emosional juga memang bahasa yang saya pakai, makanya tulisan saya amburadul. Maaf, atas ilmu saya yang masih sangat cetek. Sekian.

Salam,
Semoga semesta selalu berbahagia…

Posted from WordPress for Android

~ by S T E on December 26, 2013.

Leave a comment