Perjalanan yang Tak Terlupakan

17 Agustus 2004, Saya (Te), Nia (Kurnia Setyawan), Slamet (Meta), dan Gus Dur (Abdurahman Wahid) mengawali perjalanan ini dari Pancuran, Dlingo, daerah lerang gunung Lawu bagian Selatan. Kami berempat bertemu di tempat tersebut sekitar pukul 09.00 pagi, di mana sebelumnya Nia dan Meta telah bermalam di tempat tersebut, Gus Dur dari puncak gunung Lawu, dan saya berangkat dari rumah. Setelah berkumpul, kami berempat makan siang (menu mie goreng dan sedikit nasi) sambil bersenda gurau. Kemudian kami memutuskan untuk menuju lembah Nguncup/ Mrutu, dengan mempertimbangkan jumlah bekal, peralatan yang dibawa dan waktu. Kami sempat ragu dengan waktu yang menunjukkan sekitar jam 11.30, bisakah kami mencapai lembah Nguncup sebelum gelap. Perjalanan dari Pancuran ke lembah Nguncup memang tidak terlalu jauh, namun mempunyai medan yang cukup terjal, dan jalur perjalanan (track) yang sering berubah-ubah akibat sering adanya penebangan kayu dan akibat tanah longsor.

Kamipun segera berkemas dan segera memulai perjalanan. Perjalanan dimulai pukul 12.15, Perjalanan yang pertama adalah menuju puncak bukit Candi dengan ketinggian 2065 mdpl, dengan leader Nia diikuti Meta, saya, dan Gus Dur sebagai sweeper. Jalur ini merupakan jalur yang paling susah dan melelahkan, karena mempunyai jalur pendakian yang cukup terjal, dan udara yang panas, karena jarang ditumbuhi pepohonan. Kami selalu melakukan perjalanan sambil bersenda gurau, supaya kami tidak cepat merasa lelah. Akhirnya setelah melewati jalur yang cukup terjal dan panas, kami sampai di puncak bukit candi sekitar pukul 13.40. Setelah istirahat sejenak, minum, dan memakan bekal untuk mengisi tenaga, kami pun bergegas melanjutkan perjalanan.

Perjalanan berikutnya, pukul 14.00, kami harus menuruni bukit, dan menyisir ke punggung bukit menuju arah ke selatan, arah bukit Djobolarangan. Pada Jalur ini memang tidak terjal, seperti perjalanan sebelumnya. Jalur yang lebih datar ini, biasa kami sebut jalur jembatan ,, disebut jembatan karena jalur ini pada sisi kanan dan kiri nya berjurang yang cukup dalam, dan lebar jalur ini sekitar 3m sehingga terlihat seperti jembatan alami yang panjang. Setelah berjalan kurang lebih 30 menit kami sampai dipertigaan jalan. Untuk menuju ke lembah Nguncup, kami harus mengambil jalur menurun ke kiri ke arah timur. Setelah istirahat sejenak untuk mengatur nafas, kami pun langsung berjalan menuruni jalan menuju lembah. Pada jalur ini berada pada daerah yang lembab, mempunyai hutan yang lebat, dan gelap. Pada daerah inilah yang mempunyai jalur yang cukup rumit, karena banyak jalan yang bercabang, dan sering berubah-ubah setiap bulannya ( akibat penebangan, dan tanah longsor). Karena hutannya yang lebat, untuk melewati jalan ini terpaksa harus sering memotong semak yang menutupi jalan.

Jalur yang bercabang, tertutup, dan berubah-ubah membuat kami berempat bingung. Kami sering salah jalan, dan kembali ke jalur sebelumnya. Tanpa terasa hari sudah semakin gelap, dan menunjukkan pukul 17.30. Karena tidak menemukan jalur untuk menuju Lembah Nguncup, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke pertigaan jalan (jalan Jembatan) yang tadi. Karena pada jalur tersebut tidak memungkinkan untuk mendirikan tenda, dan dikhawatirkan banyak binatang buas (anjing liar).

Sekitar pukul 18.00 kami sampai ke jalan jembatan dan mencari lokasi campsite, untung pada jalur jembatan ini kami menemukan tempat yang datar dan cukup untuk lokasi mendirikan campsite. Kemudian kami pun bergegas mendirikan bivouac dengan menggunakan flysheet. Segeralah dilakukan pembagian tugas, Meta mempersiapkan makan malam, Nia dan saya mendirikan bivouac, dan Gus Dur mencari Kayu bakar. Dan setelah selesai mendirikan bivouac, kemudian saya bergegas mengambil golok untuk membantu Gus Dur mencari kayu bakar, dan Nia membantu Meta memasak makan malam. Pada waktu itu golok yang saya pakai hilang, terjatuh, dan susah dicari karena sudah gelap. Pukul 19.25 api unggun telah menyala, dan makan malam sudah matang, kamipun langsung makan bersama. Setelah makan dan membersihkan tempat makan, kami kemudian bersenda gurau di dekat ambil unggun, sambil minum teh dan kopi hangat untuk menghangatkan badan sebelum istirahat (tidur).

Sekitar pukul 21.00 saat kami sedang bersendau gurau, terdengar suara srek-srek, kami menaganggap itu suara hewan kecil yang lewat. kemudian suara itu muncul di belakang tempat saya duduk, namun saya cari tidak ada makhluk apapun, kami pun masih menagganggap itu suara hewan kecil. Kemudian tiba-tiba muncul suara keras memanggil saya, “Pak….!!!” bersuarakan laki-laki. Serentak kami semua tegak tercengang dan berhenti bercakap…, dan spontan saya berkata “ada apa…?” dan ketiga temanku yang lain pun melakukan hal yang serupa. Ternyata kami berempat sama-sama mendengar suara yang aneh. Awalnya saya mengira suara tersebut datang dari bapak-bapak penebang kayu, tapi arah suara tersebut berasal dari sebelah kiri jalan yang berjurang cukup dalam. Jelas tidak mungkin kalau itu suara manusia, kamipun diam sejenak, dan saling memandang kebingungan. Dan setelah menghabiskan teh dan kopi, dan mematikan api, tanpa banyak bercakap seperti sebelumnya, kami bergegas tidur. Meskipun teman-teman sudah tertidur pulas, sedikitpun saya tidak dapat memejamkan mata (saya berada di sisi pinggir bivouac yang tidak tertutup).  Di luar bivouac kami, saya mendengar suara makhluk berjalan melintasi bivouac kami, seolah-olah kami dikerumuni makhluk (makhluk halus) tersebut. Sayapun enggan untuk melihat keluar, dan tidur sambil menutupi kedua mata saya. Peristiwa tersebut terjadi selama beberapa saat, sampai akhirnya saya tertidur lelap.

Pukul 06.00, kami terbangun, dan baru saat itulah kami mulai bercakap-cakap dan membicarakan hal yang terjadi semalam. Setelah selesai melepas bivouac, kami mempersiapkan makan pagi, sebelum makanan matang, saya pergi mencari golok yang terjatuh hilang semalam. Golok yang kemarin susah dicari, ternyata tergeletak di tengah jalur tidak jauh dari campsite kami. Saya heran kenapa kemarin susah dicari, (ah masa bodoh) kemudian saya kembali dan menyantap makan pagi. Pukul 08.00 kami berangkat pulang, kembali ke Telogo Dlingo kemudian pulang ke Solo. Seperti biasa kami megisi perjalanan sambil bersenda gurau, tapi sedikitpun kami tidak membahas peristiwa tadi malam. Baru setelah berada di dalam bus kami membahas peristiwa tadi malam. Kamipun mengambil hikmah dari peristiwa tersebut, dan kami berjanji untuk tidak akan bermalam di tempat yang tidak lazim untuk mendirikan bivouac, serta lebih memperhatikan tentang manajemen waktu dalam perjalanan. Kami juga berjanji, menjadikan hal tersebut sebagai pelajaran, dan tidak kapok untuk tetap bertualang melakukan perjalanan alam.

~ by S T E on July 28, 2008.

8 Responses to “Perjalanan yang Tak Terlupakan”

  1. ke lembah mrutu/Nguncup….???
    ngak enak lewat parkiran aja dik. jalan lebih lendai n lebih cepat. kalo ndak salah dulu ada dua jalur yang lewat parkiran. jalur atas n jalur bawah. kalo jalur atas landai tap lama karena berkelok2. sementara jalur bawah cepaet tapi terjal. N langsung ketemu di sungai kecil lembah nguncup (tu pengalaman saya tahun 96 lho dik)

    • main ke lapang sekaligus surve jalur, hehe..

      kebetulan itu jalur untuk DIKSAR nateri SURVIVAL,
      nah Gus Dur (K434), itu instruktur SURVIVAL-nya.

  2. iya.. mas, kami lewat sengaja lewat jalur itu, kebetulan itu jalur peserta DIKSAR, materi survival,

  3. wah ternyata cerita Nguncup masih saja menyimpan misteri. pernah suatu malam saya gosok gigi di sungai kecil yg mengalir di bawah itu, di kejauhan saya melihat teman saya sedang main air..so saya tenang dan tak merasa sendiri. Eh pas sampai dome, sy melihat teman saya itu tertidur pulas.Nah..yg tadi itu itu..ya intinya saya gosok gigi sendirian hehehe

    • wah ternyata ada cerita mistik juga dari mbak Titik,

      Mrutu/Nguncup : kata orang tempat yang “singup” dan angker, tapi tetap saja bikin ketagihan untuk terus maen ke sana.

  4. wah mrutu yang penuh kenangan…. kayaknya memang sbuah misteri ya mbak,hhehe
    saya pernah merasa ada dan tiada disitu…(sewaktu diksar juga). ya itu sebuah pelajaran dan pengalaman buat saya pribadi tentunya,heheh

  5. add. mbak Titik Kartitiani: sekarang kerjua di National Geographic ya?

    add. ukaz : yo, kwe ra sadar…

  6. terima kasih untuk teman-teman seperjalanan saya,

    Meta Septyarini /Slamet; Indhun (K-445)
    Abdurahaman Wahid A.K /Gus Dur (K-434)
    Kurnia Setyawan /Nia; kur-kur (K-427′)

    terima kasih atas “romantisme”, dan Kekompakannya,
    kapan-kapan kita ber-nostalgila lagi

    Step (K-430)

Leave a reply to Ste Cancel reply